MASIH belum hilang dari ingatan sorak sorai nelayan serta rakyat Jakarta saat tuntutannya dikabulkan oleh PTUN, 31 Mei lantas. Pengadilan memohon pada tergugat, dalam soal ini gubernur DKI Jakarta, untuk tunda sistem reklamasi hingga berkekuatan hukum tetaplah. Pengadilan mewajibkan pihak tergugat untuk mencabut Pergub Nomer 2238 Th. 2014 mengenai pemberian izin reklamasi pada PT Muara Wisesa Samudra. Hal itu dikarenakan banyak segi yang memperoleh efek jelek seperti lingkungan hidup, ekonomi, serta sosial budaya.
Tetapi, pernyataan Menko Maritim baru, Luhut B. Panjaitan, 13 September lantas menyayat hati rakyat Jakarta. Bertempat di kementerian ESDM, Luhut sudah tiba pada rangkuman kalau tak ada argumen tidak untuk meneruskan reklamasi. Ketentuan ini terang sepihak, tak transparan, serta tidak mematuhi beberapa azas hukum yang berlaku. Bagaimana tak, putusan PTUN mempunyai legal standing yang pasti dan kemampuan hukum yang valid. Tetapi, putusan hukum itu didobrak dengan cara arogan lewat jalur kekuasaan. Aksi ini dengan cara tegas menciderai hukum Indonesia, terutama induk hukum UUD 1945 pasal 1 ayat 3 yang menyebutkan dengan cara gamblang kalau Indonesia yaitu negara hukum. Hal ini dapat memberikan indikasi naiknya Luhut sebagai menko maritim yaitu untuk melegalisasi proyek reklamasi.
Ketentuan yang di ambil menko maritim tak diimbangi dengan hasil kajian berbentuk dokumen ataupun naskah akademik yang disebar pada umum. Hingga, orang-orang tidak bisa menilainya apa sajakah sebagai pertimbangan dalam ketentuan yang di ambil itu. Tidak sama dengan ketentuan moratorium terlebih dulu yang hasil kajiannya dapat dibuka serta berbentuk transparan. Diluar itu, penundaan serta perpindahan tempat konferensi pers pada selasa lantas memberikan karakter pengecut seseorang menteri.
Pasalnya konferensi pers yang bakal dikerjakan itu dikawal oleh tindakan demonstrasi mahasiswa BEM Semua Indonesia serta nelayan. Baru sesudah tindakan demonstrasi bubar, menko melakukan konferensi pers. Semestinya bila proyek ini tak punya masalah menteri tak mesti takut bertemu dengan umum, rakyatnya sendiri.
Bukan sekedar hingga disitu, saat konferensi pers akan dikerjakan kenyataannya pengawalan mahasiswa tetaplah berlanjut. Mahasiswa dari BEM UI ada untuk mempertanyakan ketentuan dilanjutkannya reklamasi. Dengan cara mendadak terjadi audiensi serta pemaparan kementerian pada mahasiswa. Terjadi dialektika serta banyak pemaparan menteri dapat disanggah oleh mahasiswa. Menariknya, rekaman berbentuk video, audio, dan lain-lain disuruh untuk dihapus oleh menteri. Hal semacam ini memberikan rasa ketakutan dari hasil kajian yang masihlah belum transparan serta menegaskan kalau tak ada argumen untuk meneruskan reklamasi, lantaran banyak kejanggalan di sana sini.
Teruskan Reklamasi Teluk Jakarta, Luhut Dinilai Langgar Konstitusi
Dengan cara logika tegas tergambar kalau reklamasi bukanlah untuk rakyat Indonesia, namun untuk beberapa pengembang serta kelompok menengah keatas. Reklamasi juga adalah product yang tidak mematuhi nawacita, lantaran negara jadi lemah karena itu. Bagaimanapun juga nelayan memerlukan laut untuk kehidupannya, bukanlah rusunawa maupun pulau palsu yang sediakan kebahagiaan semu. Reklamasi yaitu bentuk pemerkosaan pada Ibu Kota, lantaran jalur strategis perdagangan, perekonomian, bahkan juga sosial serta politik bakal dikuasai oleh entrepreneur serta pihak asing yang bermukim di sana.
Bila telah sekian, jadi rakyat Jakarta tak dapat berbuat apa-apa serta cuma terbelenggu dalam penjajahan jenis baru. Jadi pada saat masihlah dapat bergerak, janganlah siakan peluang itu. Lantaran saat kita diam waktu Ibu Kota diperkosa, kita yaitu anak durhaka. *
Penulis Koordinator Pusat BEM Semua Indonesia, Ketua BEM UNJ
http://www.hidayatullah.com/none/read/2016/09/18/101027/reklamasi-bentuk-pemerkosaan-ibu-kota.html